Kamis, 01 Mei 2008

masa kehancuran banten

Masa-masa Kehancuran Banten

Setelah ditangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa (14 Maret 1683 M), Sultan Ageng Tirtayasa wafat pada tahun 1692. dengan restu kompeni diangkatlah Sultan Haji sebagi Sultan Banten VI. Namun kedaulatan Kesultanan Banten sudahlah tidak ada lagi. Apalagi dengan ditandatanganinya perjanjian antara kompeni dengan Sultan Haji pada tanggal 17 April 1684 Perjanjian tersebut berisi hal-hal yang merugikan kesultanan dan rakyat Banten. Sehingga lenyaplah kejayaan dan kemajuan Banten, karena adanya monopoli dan penjajahan Belanda.
Rakyat semakin menderita karena tingginya pajak yang harus mereka bayar. Sehingga tidaklah mengherankan kalau pada saat itu banyak terjadi kerusuhan dan pemberontakan, karena ketidakpuasan rakyat. Bahkan pernah terjadi pembakaran hampir 2/3 bangunan-bangunan didalam kota.
Untuk keperluan keamanan dan pertahanannya, pihak kompeni membangun benteng disebelah utara dekat pasar Karangantu. Benteng tersebut diberinama Speelwijk pada tahun 1682 dan kemudian disempurnakan pada tahun 1685.
Masa pemerintahan Sultan Haji dipenuhi dengan pemberontakan dan kekacauan disegala bidang. Bahkan sebagian besar rakyat tidak mengakui dirinya sebagai Sultan Banten. Sehingga kehidupan sultan selalu diliputi dengan kegelisahan dan ketakutan Bagaimana pun juga sebagai manusia, ada rasa sesal pada diri sultan atas perlakuan dirinya terhadp ayahya (Sultan Ageng Tirtayasa) Tapi semuanya sudah terlanjur. Karena tekanan-tekanan itu akhirnya beliau jatuh sakit hingga meninggalnya pada tahun 1687. Dari permaisuri Sultan Haji mempunyai beberapa orang anak, diantaranya Pangeran ratu dan PAngeran Adipati. Sedangakan menurut Babad Banten, Sultan Haji memiliki 10 orang putera, yakni :
1. Pangeran Ratu (Sultan Abulfadl)
2. Pangeran Adipati (Sultan Muhammad Zainul Abidin)
3. Pangeran Muhammad thohir
4. Pangeran Fadhluddin
5. Pangeran Ja'farrudin
6. Pangeran Muhammad Alim
7. Ratu Rohimah
8. Ratu Hamimah
9. Pangeran Kesatrian
10. Ratu Mumbay (ratu Bombay)
Setelah wafatnya Sultan Haji, terjadilah perebutan kekuasaan diantara puter-putera Sultan Haji. Setan Van Imhoff turun tangan masalah ini dapat terselesaikan. Dengan diangkatnya Pangeran Ratu menjadi Sultan Banten VII dengan gelar Sultan Abulfadhl Muhammad Yahya (1687-1690). Beliau ternyata termasuk Sultan yang benci Belanda. Ditatanya kembali banten yang sudah porak poranda itu. Namun baru tiga tahun, beliau jatuh sakit yang mengakibtakan kematiannya. Jenazahnya dimakamkan disamping kanan makam Sultan Hasanuddin di Pasarean.
karena Sultan Abul Fadhl tidak memiliki putera, maka kesultanan diserahkan kepada adiknya Pangeran Adipati (1690-1733) dengan gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin atau Kang Sinuhun Ing Nagari Banten.

Putera Sultan yang sulung dibunuh orang, sehingga yang menggantikan posisinya sebagai sultan Banten adalah putera keduanya yang kemudian bergelar Pangeran Abulfathi Muhammad Shifa Zainul Arifin(1733-1747). Pada masa pemerintahannya banyak terjadi pemberontakan oleh rakyat, karena ketidakpuasan rakyat terhadap kompeni yang memberlakukan kerja rodi, tanam paksa dan lainnya. Dalam pada itu dikeraton pun terjadi kekisruhan. Sultan Zainul Arifin banyak dipengaruhi oleh isterinya (Ratu Syarifah fatimah). Ratu begitu dekat dengan kompeni.
Sultan Zainul Arifin mengangkat Pangeran Gusti sebagai putera mahkota. Penunjukan ini tidak disetujui oleh isterinya, Permaisuri menginginkan yang menjadi putera mahkota adalah menantunya, yaitu Pangeran Syarif Abdullah. Karena desakan oleh isterinya, sultan menyurun Pangeran Gusti pergi ke Batavia. Tapi atas usulan Ratu Syarifah, Pangeran Gusti ditangkap dan diasingkan ke Sailan oleh kompeni (1747). Sehingga diangkatlah Pangeran Syarif Abdullah sebagai Putera mahkota, dengan persetujuan kompeni. Dan atas fitnah isterinya pula, Sultan Zainul Arifin ditangkap kompeni karena dianggap gila. Sebagai gantinya diangkatlah Pangeran Syarif Abdullah sebagai Sultan banten dengan gelar Pangeran Syarifuddin Ratu Wakil pada tahun 1750. tapi yang berkuasa sebetulnya adalah Ratu Fatimah.
Melihat hal ini rakyat merasa telah dihina dan dikhianati, maka rakyat pun melakukan perlawanan bersenjata. Dipimpin oleh Ki Topo dan Ratu Buang mereka menyerbu Surosowan. Pertempuranpun terjadi begitu hebat. Melihat hal ini Gubernur Jendral Kompeni Mossel segera memerintahkan menangkap Ratu Syarifah dan Sultan Syarifudin. Kemudian Belanda mengangkat Pangeran Arya Adi Santika sebagai sultan Banten dengan gelar Sultan Abul Ma'ali Muhammad Wasi' Zainul Arifin Pada tahun 1752, dan Pangeran Gusti diangkat sebagi putera mahkota. Enam bulan kemudian Sultan menyerahkan kekuasaannya kepada putera mahkota, karena banyaknya perlawanan dari rakyat yang tidak suka dengan perlakuan kompeni yang mendikte sultan. Pangeran Gusti diangkat dengan gelar Sultan Abul Nasr Muhammad 'Arif Zainul Asiqin (1753-1773). setelah sultan wafat maka kekuasan diserahkan kepada putranya dengan gelar Sultan Abul Mafakhir Muhammada Aliudin (1773-1799). Karena tidak memiliki putera maka setelah wafat Sultan Aliudin, kekuasaan dipegang oleh adiknya yang bernama Pangeran Muhiddin dengan gelar Sultan Abul Fath Muhammad Muhiddin Zainal Shalihin (1799-1801). Pada tahun 1801 sultan dibunuh oleh Tubagus Ali Seorang putera Sultan Aliudin. namun Tubagus Ali pun wafat ditangan pengawal sultan. Selanjutnya kesultanan dipegang oleh Sultan Abulnasr Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802). Pada Tahun 1802 Kesultanan dipegang oleh Sultan Wakil Pangeran Natawijaya yang kemudian pada tahun 1803 Putera Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliudin dengan gelar Sultan Agiluddin atau Sultan Aliyuddin II (1803-1808). Sultan inilah yang berselisih paham dengan Herman Wiliam Daendels. (Q)

Masa-masa Kehancuran Banten

Setelah ditangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa (14 Maret 1683 M), Sultan Ageng Tirtayasa wafat pada tahun 1692. dengan restu kompeni diangkatlah Sultan Haji sebagi Sultan Banten VI. Namun kedaulatan Kesultanan Banten sudahlah tidak ada lagi. Apalagi dengan ditandatanganinya perjanjian antara kompeni dengan Sultan Haji pada tanggal 17 April 1684 Perjanjian tersebut berisi hal-hal yang merugikan kesultanan dan rakyat Banten. Sehingga lenyaplah kejayaan dan kemajuan Banten, karena adanya monopoli dan penjajahan Belanda.
Rakyat semakin menderita karena tingginya pajak yang harus mereka bayar. Sehingga tidaklah mengherankan kalau pada saat itu banyak terjadi kerusuhan dan pemberontakan, karena ketidakpuasan rakyat. Bahkan pernah terjadi pembakaran hampir 2/3 bangunan-bangunan didalam kota.
Untuk keperluan keamanan dan pertahanannya, pihak kompeni membangun benteng disebelah utara dekat pasar Karangantu. Benteng tersebut diberinama Speelwijk pada tahun 1682 dan kemudian disempurnakan pada tahun 1685.
Masa pemerintahan Sultan Haji dipenuhi dengan pemberontakan dan kekacauan disegala bidang. Bahkan sebagian besar rakyat tidak mengakui dirinya sebagai Sultan Banten. Sehingga kehidupan sultan selalu diliputi dengan kegelisahan dan ketakutan Bagaimana pun juga sebagai manusia, ada rasa sesal pada diri sultan atas perlakuan dirinya terhadp ayahya (Sultan Ageng Tirtayasa) Tapi semuanya sudah terlanjur. Karena tekanan-tekanan itu akhirnya beliau jatuh sakit hingga meninggalnya pada tahun 1687. Dari permaisuri Sultan Haji mempunyai beberapa orang anak, diantaranya Pangeran ratu dan PAngeran Adipati. Sedangakan menurut Babad Banten, Sultan Haji memiliki 10 orang putera, yakni :
1. Pangeran Ratu (Sultan Abulfadl)
2. Pangeran Adipati (Sultan Muhammad Zainul Abidin)
3. Pangeran Muhammad thohir
4. Pangeran Fadhluddin
5. Pangeran Ja'farrudin
6. Pangeran Muhammad Alim
7. Ratu Rohimah
8. Ratu Hamimah
9. Pangeran Kesatrian
10. Ratu Mumbay (ratu Bombay)
Setelah wafatnya Sultan Haji, terjadilah perebutan kekuasaan diantara puter-putera Sultan Haji. Setan Van Imhoff turun tangan masalah ini dapat terselesaikan. Dengan diangkatnya Pangeran Ratu menjadi Sultan Banten VII dengan gelar Sultan Abulfadhl Muhammad Yahya (1687-1690). Beliau ternyata termasuk Sultan yang benci Belanda. Ditatanya kembali banten yang sudah porak poranda itu. Namun baru tiga tahun, beliau jatuh sakit yang mengakibtakan kematiannya. Jenazahnya dimakamkan disamping kanan makam Sultan Hasanuddin di Pasarean.
karena Sultan Abul Fadhl tidak memiliki putera, maka kesultanan diserahkan kepada adiknya Pangeran Adipati (1690-1733) dengan gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin atau Kang Sinuhun Ing Nagari Banten.

Putera Sultan yang sulung dibunuh orang, sehingga yang menggantikan posisinya sebagai sultan Banten adalah putera keduanya yang kemudian bergelar Pangeran Abulfathi Muhammad Shifa Zainul Arifin(1733-1747). Pada masa pemerintahannya banyak terjadi pemberontakan oleh rakyat, karena ketidakpuasan rakyat terhadap kompeni yang memberlakukan kerja rodi, tanam paksa dan lainnya. Dalam pada itu dikeraton pun terjadi kekisruhan. Sultan Zainul Arifin banyak dipengaruhi oleh isterinya (Ratu Syarifah fatimah). Ratu begitu dekat dengan kompeni.
Sultan Zainul Arifin mengangkat Pangeran Gusti sebagai putera mahkota. Penunjukan ini tidak disetujui oleh isterinya, Permaisuri menginginkan yang menjadi putera mahkota adalah menantunya, yaitu Pangeran Syarif Abdullah. Karena desakan oleh isterinya, sultan menyurun Pangeran Gusti pergi ke Batavia. Tapi atas usulan Ratu Syarifah, Pangeran Gusti ditangkap dan diasingkan ke Sailan oleh kompeni (1747). Sehingga diangkatlah Pangeran Syarif Abdullah sebagai Putera mahkota, dengan persetujuan kompeni. Dan atas fitnah isterinya pula, Sultan Zainul Arifin ditangkap kompeni karena dianggap gila. Sebagai gantinya diangkatlah Pangeran Syarif Abdullah sebagai Sultan banten dengan gelar Pangeran Syarifuddin Ratu Wakil pada tahun 1750. tapi yang berkuasa sebetulnya adalah Ratu Fatimah.
Melihat hal ini rakyat merasa telah dihina dan dikhianati, maka rakyat pun melakukan perlawanan bersenjata. Dipimpin oleh Ki Topo dan Ratu Buang mereka menyerbu Surosowan. Pertempuranpun terjadi begitu hebat. Melihat hal ini Gubernur Jendral Kompeni Mossel segera memerintahkan menangkap Ratu Syarifah dan Sultan Syarifudin. Kemudian Belanda mengangkat Pangeran Arya Adi Santika sebagai sultan Banten dengan gelar Sultan Abul Ma'ali Muhammad Wasi' Zainul Arifin Pada tahun 1752, dan Pangeran Gusti diangkat sebagi putera mahkota. Enam bulan kemudian Sultan menyerahkan kekuasaannya kepada putera mahkota, karena banyaknya perlawanan dari rakyat yang tidak suka dengan perlakuan kompeni yang mendikte sultan. Pangeran Gusti diangkat dengan gelar Sultan Abul Nasr Muhammad 'Arif Zainul Asiqin (1753-1773). setelah sultan wafat maka kekuasan diserahkan kepada putranya dengan gelar Sultan Abul Mafakhir Muhammada Aliudin (1773-1799). Karena tidak memiliki putera maka setelah wafat Sultan Aliudin, kekuasaan dipegang oleh adiknya yang bernama Pangeran Muhiddin dengan gelar Sultan Abul Fath Muhammad Muhiddin Zainal Shalihin (1799-1801). Pada tahun 1801 sultan dibunuh oleh Tubagus Ali Seorang putera Sultan Aliudin. namun Tubagus Ali pun wafat ditangan pengawal sultan. Selanjutnya kesultanan dipegang oleh Sultan Abulnasr Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802). Pada Tahun 1802 Kesultanan dipegang oleh Sultan Wakil Pangeran Natawijaya yang kemudian pada tahun 1803 Putera Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliudin dengan gelar Sultan Agiluddin atau Sultan Aliyuddin II (1803-1808). Sultan inilah yang berselisih paham dengan Herman Wiliam Daendels. (Q)

Tidak ada komentar: